Menolak Hadiah (?)

                                                   

Tak terasa sudah berada di bulan terakhir di tahun 2016. sebentar lagi merayakan Natal dan bulan depan saya ulang tahun. tapi entah perasaan macam apa ini? apakah karena hidup saya akhir-akhir ini di bawah tekanan? entahlah. rasanya bulan Januari masih sangat lama. rasanya masih lama lagi menerima ketambahan usia. atau mungkin lebih tepatnya, saya merasa belum pantas menerima anugerah itu. konyol memang, tapi inilah yang terbesit di pikiran saya.

Setelah merenung, mungkin ketidaksiapan menemui hari kelahiran ini didasari oleh 'kematian' saya di tahun ini. banyak hal yang sudah saya lewati, mulai dari untuk pertama kalinya berulang tahun seorang diri di perantauan, melawan rasa takut waktu jadi guru magang selama 3 bulan, bergumul dengan tugas akhir yang belum selesai-selesai, hingga tertimpa bebatuan kecil yang tak bisa dipungkiri bebatuan itulah yang memicu 'tekanan' yang saya sebutkan tadi. Padi feat. Iwan Fals - Sesuatu Yang Tertunda. itulah soundtrack kehidupan saya tahun ini.

Di usia ini memang terasa perbedaan sangat mencolok, begitu banyak hal yang mau tidak mau harus dihadapi. contoh kecilnya, jika ada yang bertanya 'sudah selesai kuliah, belum?' atau 'terus, kapan kamu wisuda?' dalam hati, rasanya belum pantas pertanyaan itu dilontarkan pada saya, tapi seketika sadar, mereka pantas bertanya seperti itu karena saya bukan lagi MaBa tapi mahasiswi semester akhir dan seharusnya sudah wisuda atau setidaknya melewati ujian skripsi atau paling tidak sudah ujian seminar. lalu saya mulai menghibur diri 'biarlah.. mungkin saya belum diizinkan segera wisuda karena masih butuh banyak belajar cara menghadapi kerasnya kehidupan nyata'. ada juga hal-hal yang dipendam, rasanya ingin berontak. tapi untunglah masih bisa ditahan dengan berbagai alternatif, salah duanya adalah mendengarkan musik di gawai dan tidur.

Tapi dibalik peliknya hari-hari di tahun 2016, saya bersyukur bisa membeli buku-buku puisi, novel dan cerpen yang berbau kesusastraan. dari dulu memang suka tentang linguistik dan sastra. tapi saya selalu menghindari membaca buku tebal, lebih tertarik dengan cerita bergambar seperti komik dan Majalah Bobo. tapi setelah dipikir-pikir, saya harus meninggalkan komik yang sudah distereotype sebagai bacaan anak sekolahan. tapi pada akhirnya saya masih mengoleksi komik hehehe. Bersyukur juga akhirnya tahun ini kami sekeluarga boleh punya hunian sendiri, dan keinginan punya blog bisa terealisasikan tahun ini, ya meskipun tugas saya sering tertunda gara-gara menulis di blog, at least I do something to make me happy. ☺

Balik lagi di perasaan enggan tiba di hari ulang tahun. sudah dekat, bulan depan, tapi rasanya begitu jauh. sangat jauh. rasanya tak pantas menerima berkat itu bulan depan karena saya tak berbuat sesuatu yang berguna tahun ini. sesuatu yang menyenangkan orang tua dan menyenangkanNya. sedikit demi sedikit, berusaha melupakan sejenak masalah dan mencoba mengerjakan tugas akhir tapi tidak juga membawa hasil. ditambah dengan 'gangguan mental' yang berimbas di gangguan kesehatan yang menerjang satu per satu bagian tubuh. seperti seorang yang menjalani hidup dan siap mati kapan saja.

Semoga sebelum tahun ini berakhir atau di Hari Natal nanti, hati dan pikiran saya dibersihkan dari lumpur yang membuat saya seakan menolak hadiah Tuhan untuk saya. tentu tanpa usaha untuk berubah saya tidak bisa mengubahnya, harapan hanya akan jadi harapan, dan kepahitan akan tetap menjadi kepahitan.

Apakah saya harus mengingkari hari ulang tahun yang datang sebulan lagi? apakah saya harus menolak usia dan penyertaan yang sudah disediakan? tentu jawabannya tidak. Tuhan itu penuh kasih dan saya harus menerima 'hadiah' itu tak peduli baik atau buruknya saya selama ini. karena di setiap doa terselip kata 'berkat', berkatilah saya, berkatilah dia, berkatilah mereka, dan berkatilah kami semua. maka anak-anak Tuhan berhak menerima berkat yang diberikan secara cuma-cuma.

2 comments:

Tentang Pendiam dan Apa Yang Dipendam




Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain, ini memang jelas tak terbantahkan. tapi tak bisa dipungkiri juga, dalam kehidupan bermasyarakat kita pasti bertemu dengan sosok yang tertutup atau pendiam. yang saya maksud di sini adalah seorang yang benar-benar pendiam bukan yang terpaksa atau pura-pura diam.

Sering kali orang pendiam dianggap kesepian, membosankan, menakutkan, dan aneh. stigma ini muncul karena manusia pada umumnya suka berkumpul dan berbagi tawa, luka, bahkan air mata. Pendiam umumnya suka menyendiri. hang-out sendirian bukanlah masalah. hanya saja tatapan orang-orang sekitar yang jadi masalah baginya. apalagi jika bertemu orang yang dikenal "eh mau kemana? kok sendirian?", "hai.. lama ngga ketemu.. sendirian aja nih", "eh ngapain di sini? sendirian ya? kasihan" dibarengi dengan mimik prihatin.

Saat berkumpul, si pendiam tidak akan mendominasi pembicaraan. bahkan saat satu lawan satu, ia akan diam saja menunggu diajak bicara, jika tidak ia (mungkin) akan bersyukur. itulah mengapa pendiam dianggap membosankan, karena tak ada hal yang ia bagikan. tak ada ekspresi yang mengisyaratkan bahwa ia menikmati hidup.

Ketika ada yang bilang "hati-hati sama orang pendiam, diam-diam menghanyutkan!". kalimat yang diadopsi dari salah satu peribahasa ini agak mengganggu pikiran saya karena 'menghanyutkan' di sini diartikan dengan kemunafikan dan perbuatan jahat. mengingat para pelaku pembunuhan, pemboman, atau terduga teroris pada umumnya pendiam dan tertutup, (entah memang pendiam atau berusaha tertutup agar kejahatannya tidak diketahui) tapi memang ada juga pendiam yang karena tak kuat menahan tekanan di kehidupan yang berbuat jahat.

Padahal orang yang bukan pendiam pun bisa saja munafik dan jahat. memang sudah jadi rahasia umum pelaku kejahatan dikenal sebagai sosok pendiam tapi bisa saja itu hanya kamuflase. misal si Mutmainah cerita ke Pipit (gadis pendiam) bahwa dia kesal dengan Sofia. di sana ada Rapunsel yang juga dikenal pendiam turut mendengar. setelah itu, gadis yang sering disapa Rara atau Rapu ini cerita ke Jenitajunet, lalu Jenitajunet cerita ke Sofia. nah, bisa saja Rapu pura-pura, berusaha diam agar dapat 'materi' baru untuk diperbincangkan. ya salah si Mut juga, ceritanya ngga kira-kira.

Pendiam ditakuti dan dibilang aneh. tak jarang ia diremehkan. mungkin karena sikapnya yang pasif, beberapa orang 'gemas' dan mencari gara-gara. jika si pendiam mulai ambil tindakan, itulah yang disebut menakutkan. kalau saja keberadaannya dihargai, tak akan ada pendiam yang menakutkan. pendiam itu culun, payah, dan saat berada di kerumunan, orang akan menatapnya seolah sedang melihat pengemis yang muncul menyantap makanan di pesta ulang tahun bekas a-er-te-nya; antara kaget, heran, jijik dan kasihan.

Tak ada orang yang cerewet atau mudah bersosialisasi disebut culun. stigma culun sudah jadi 'busana' si pendiam. karena cenderung menutup diri, feel & skill mereka pun tak diketahui banyak orang, bahkan orang terdekat pun tak bisa melihatnya. pakaiannya itu-itu saja bahkan modelnya sudah ketinggalan jaman, dandanannya pun sederhana. tapi tidak semua pendiam begitu, ada pendiam yang ikut tren masa kini, ada pendiam yang tidak peduli itu.

Perasaan suka atau cinta si pendiam juga tak kalah dramatis. ia berlapang dada menerima kenyataan bahwa cintanya hanya akan dipendam. mungkin si pendiam termasuk orang yang sulit jatuh cinta, sehingga ketika dia merasakan cinta, tak masalah jika ia tak memiliki orang yang dicintai karena perasaan itu sudah membuatnya bahagia. tak hanya kesedihan yang dipendam, lagi-lagi kebahagiaan dinikmati sendirian.

Bagaimana rasanya jadi pendiam? sama seperti manusia biasa. ia paham manis getirnya kehidupan. paham bagaimana 'dipaksa' menjadi orang lain. paham tentang kebahagiaan dalam kesendirian. merasakan betapa bahagianya berada dalam kesunyian, tapi bukan berarti sepi, ada musik, buku, hewan peliharaan (jika ada), alam, imajinasi, dan apapun yang bisa dilakukan sendirian. merasakan betapa sakitnya memendam emosi dan serba salah ketika melepaskan emosi. ketika menyendiri, tak sepenuhnya ingin sendiri. adakalanya butuh teman, teman yang mau menerima keberadaan. bukan teman yang datang dengan basa-basi lalu beranjak pergi. banyak yang hanya sekadar ingin tahu masalah, disusul dengan kalimat 'sabar ya' atau bahkan langsung disudutkan-kemudian berlalu.

Untuk mengungkapkan pendapat atau pun perasaan tak semudah mereka yang 'hidup normal'. memang, mereka yang bersosialisasi pun mempunyai masalah yang tak kalah berat. tanpa harus mengkotak-kotakan kepribadian, setiap manusia sejatinya punya sisi introvertnya, salah satu tanda ialah berusaha menyimpan masalah. tapi mungkin si pendiam lebih sulit mengungkapkan. dilihat dari perannya untuk terjun di tengah masyarakat, mereka yang bukan pendiam paling tidak punya dua teman dekat yang bisa menampung curahan hatinya, sementara si pendiam akut, jangankan dua, satu teman pun masih dalam masa pertimbangan; apakah harus terbuka atau tidak.

Pada akhirnya, sekokoh apapun tembok pertahanan yang dibangun si pendiam akan roboh juga karena kembali ke statement awal, manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain. Jika kita mau menerima dan menghargai setiap manusia, paling tidak kasus kejahatan di dunia berkurang. coba ingat kembali kasus yang melibatkan orang pendiam sebagai pelaku. sebelum menilai baiknya kita pahami juga motifnya. mungkin karena dikecewakan, diremehkan, atau dikambing hitamkan. bukannya membela penjahat.. bukan. tapi mari introspeksi diri. selalu ada alasan disetiap perbuatan. apa yang dipendam (emosi atau skill) suatu saat akan dibongkar, entah itu dengan mengendap-endap atau secara mengejutkan.

12 comments: